Marisi Butarbutar - Berbagi Setulus Hati

Hukum yang terutama...

Rabu, Januari 28, 2009

HUKUM YANG PERTAMA
TUHAN ALLAH MENGASIHI SAUDARA, DAN MEMPUNYAI SUATU RENCANA YANG INDAH BAGI HIDUP SAUDARA.

(Ayat-ayat yang terdapat di dalam buku kecil ini hendaknya dibaca dari Alkitab sedapat mungkin.)

KASIH ALLAH
"Karena begitu kasih Allah akan dunia ini, sehingga la telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal"
Yohanes 3:16.

RENCANA ALLAH
(Kristus berkata), "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan" (suatu kehidupan yang berarti dan penuh kebahagiaan)
Yohanes 10:10b.

Apakah sebabnya banyak orang tidak pernah mengalami kehidupan yang berkelimpahan dan penuh kebahagiaan ini?

Sebab

HUKUM YANG KEDUA
MANUSIA PENUH DOSA DAN TERPISAH DARI TUHAN ALLAH, SEHINGGA IA TIDAK DAPAT MENGETAHUI DAN MENGALAMI KASIH DAN RENCANA ALLAH BAGI HIDUPNYA.

MANUSIA PENUH DOSA

"Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah"
Roma 3:23

Manusia diciptakan untuk bersekutu dengan Tuhan Allah, akan tetapi karena kekerasan hatinya, ia memilih jalannya sendiri sehingga persekutuannya dengan Tuhan Allah terputus. Menurut Alkitab, kekerasan hati untuk memilih jalan sendiri dan ingin bebas dari Tuhan Allah disebut dosa dan diwujudkan, baik dengan sikap melawan maupun dengan sikap masa bodoh.

MANUSIA TERPISAH DARI TUHAN ALLAH

"Sebab upah dosa ialah maut . . ." (terpisah dari Allah untuk selama-lamanya)
Roma 6:23

Tuhan Allah Maha Suci, sedangkan manusia penuh dosa. Karena itu ada satu jurang pemisah antara Tuhan Allah dengan manusia. Manusia selalu berusaha untuk mencari Tuhan Allah dan kehidupan yang penuh kebahagiaan melalui usahanya sen diri yaitu kehidupan yang baik, etika, filsafat dan lain-lain, namun gagal disebabkan karena dosanya.

Hukum yang ketiga memberikan kita jalan ke luar dari kesulitan ini.

HUKUM YANG KETIGA
YESUS KRISTUS ADALAH SATU-SATUNYA JALAN KESELAMATAN YANG TELAH DITENTUKAN OLEH TUHAN ALLAH UNTUK KEAMPUNAN DOSA MANUSIA, MELALUI DIA SAUDARA DAPAT MENGETAHUI DAN MENGALAMI KASIH DAN RENCANA ALLAH BAGI SAUDARA.

KRISTUS MATI GANTI KITA

"Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa"
Roma 5:8

KRISTUS TELAH BANGKIT PULA DARI KEMATIAN

".....Kristus telah mati karena dosa kita...la telah dikuburkan...Ia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga sesuai dengan Kitab Suci,...la telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas muridNya. Sesudah itu la menampakkan diri kepada lebih dari 500 saudara sekaligus."
1 Korintus 15:3-6

KRISTUS ADALAH SATU-SATUNYA JALAN

Kata Yesus kepadanya, "Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku"
Yohanes 14:6

Allah telah menjembatani jurang pemisah antara manusia dengan DiriNya dengan mengirimkan AnakNya, Yesus Kristus, untuk mati di kayu salib menggantikan kita.


Tidak cukup hanya mengetahui ketiga hukum ini . . .

HUKUM YANG KEEMPAT
KITA HARUS MENERIMA YESUS KRISTUS MENJADI JURUSELAMAT DAN TUHAN KITA, DENGAN MENGUNDANGNYA SECARA PRIBADI. DENGAN DEMIKIAN KITA DAPAT MENGETAHUI DAN MENGALAMI KASIH DAN RENCANA ALLAH BAGI HIDUP KITA.

KITA HARUS MENERIMA KRISTUS

"Tetapi semua orang yang menerimaNya diberiNya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya"
Yohanes 1:12

KITA MENERIMA KRISTUS DENGAN IMAN

"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu, jangan ada orang yang memegahkan diri"
Efesus 2:8,9

KITA MENERIMA KRISTUS, DENGAN MENGUNDANGNYA SECARA PRIBADI

(Kristus berkata, "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk, jikalau ada orang yang mendengar suaraKu dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya...."
Wahyu 3:20

Menerima Kristus berarti berpaling dari diri sendiri kepada Tuhan Allah, serta menyerahkan seluruh pribadi kita, yaitu akal budi, perasaan dan kemauan. Karena itu tidak cukup hanya mengerti ajaran Kristus dengan akal kita saja atau menanggapinya berdasarkan perasaan semata-mata; kita harus mengambil tindakan berdasarkan kemauan kita, untuk menyerahkan setiap segi kehidupan kita dikuasai oleh Yesus Kristus.

Kedua lingkaran ini menggambarkan dua macam kehidupan:

Lingkaran manakah yang mencerminkan kehidupan saudara?
Lingkaran manakah yang saudara ingin akan mencerminkan kehidupan saudara?


Informasi lengkap, kunjungi: http://www.jesuswho.org/indonesian/four.htm

READ MORE - Hukum yang terutama...

Kehidupan Remaja

Senin, Januari 19, 2009

Remaja dan Aspek Psikososial

Banyak yang bilang masa remaja adalah masa yang paling indah (duh... seperti di dalam lagi ya) karena di masa remaja banyak perubahan yang kita alami, mulai dari perubahan fisik sampai psikologi. Dan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk masyarakat.

Segala macam aspek hubungan sosial dengan kawan, orangtua, ataupun guru bisa disebut dengan aspek psikososial.

Masa remaja yang kita alami ini merupakan suatu periode dalam rentang kehidupan manusia, mau atau tidak mau pasti kita mengalaminya. Pada masa ini, berlangsung proses-proses perubahan secara biologis juga perubahan psikologis yang dipengaruhi berbagai faktor, termasuk oleh masyarakat, teman sebaya, dan juga media massa. Kita yang berada di masa remaja ini juga belajar meninggalkan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan pada saat yang bersamaan kita mempelajari perubahan pola perilaku dan sikap baru orang dewasa. Selain itu, kita yang remaja ini juga dihadapkan pada tuntutan yang terkadang bertentangan, baik dari orangtua, guru, teman sebaya, maupun masyarakat di sekitar. Kita bisa-bisa menjadi bingung karena masing-masing memberikan tuntutan yang berbeda-beda tergantung pada nilai, norma, atau standar yang digunakan.

Intinya aspek psikososial bisa didefinisikan sebagai aspek yang ada hubungannya dengan kejiwaan kita dan sosial. Kejiwaan tentu saja berasal dari dalam diri kita, sedangkan aspek sosial berasal dari luar (eksternal). Kedua aspek ini sangat berpengaruh kala masa pertumbuhan kita.

Kadang yang lebih berpengaruh justru bukan aspek kejiwaan, melainkan aspek eksternal. Misalnya, media massa membangun imej remaja putri yang oke adalah yang berkulit putih, bertubuh langsing, dan berpayudara besar. Demi mengejar body image seperti itu, banyak yang termakan dan berusaha menjadi imej seperti yang dikatakan di media massa.

Sudah saatnya perubahan diri terjadi bukan dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri karena seharusnya aspek psikososial berlangsung secara seimbang. Pengaruh dari luar harusnya mampu mengubah kita menjadi manusia yang lebih baik. Dengan kondisi ini, diharapkan interaksi aspek psikologi dan sosial dapat menjadi positif, yang pada akhirnya dapat berdampak positif pada pembentukan identitas diri kita.

READ MORE - Kehidupan Remaja

Kesaksian

Senyumlah Pada Tuhan

Banyak orang tak mau banyak-banyak tersenyum karena hidup di kota bukan perlu senyum, tapi punya banyak uang baru bisa tersenyum. Walau uang bisa tersenyum pada orang, senyum perlu uang agar orang tetap bisa tersenyum pada kemiskinan. Maka di kota, orang tersenyum untuk dapat uang agar orang bisa punya uang dan kemiskinan tak lagi tersenyum padanya.

"Tersenyumlah, Bu," begitu kata seorang ibu setengah baya pada seorang ibu yang lebih muda di sebelahnya, yang senyumnya belum datang seperti juga ibu di depannya, di belakangnya; seperti juga bapak-bapak di samping kiri, kanan bahkan seperti yang tua-tua yang duduk bersila, bersandar pada dinding joroknya; juga yang di sudut-sudut ruangan sempit dan pengap malam itu. Senyum semua orang seolah sembunyi pada gelapnya malam. Hanya beberapa anak kecil yang duduk dan tidur-tiduran di bagian depan, tertawa-tawa seolah tertawa pada miskinnya tempat itu, miskinnya mereka sendiri. Hujan sudah reda. Gerimis masih ada dari sisa deras hujan sebelumnya, tapi banyak air membasahi lantai yang terbawa dari baju lusuh basah orang-orang yang datang, duduk bersila di basahnya lantai di sesaknya ruangan itu.

"Tersenyumlah, Bu," kata ibu setengah baya itu lagi. Ibu yang disapa belum juga tersenyum. Bau tak sedap bercampur pada lusuh wajah selusuh basah bajunya. Ibu muda itu, seperti orang lain di tempat itu adalah para pemulung. Kebaktian belum dimulai, namun sebagian dari mereka bukan datang untuk kebaktian, tapi untuk makan; kadang untuk uang walau sering tak ada makan dan tak ada uang di tempat sempit dan pengap itu. "Saya sudah sering senyum, pada pagi, pada kehidupan, pada kemiskinan, juga pada malam hujan seperti ini," katanya. Hujan memang selalu membuat, bukan saja diri dan bajunya menjadi basah selusuh-lusuhnya, tetapi juga rumah kardusnya di pinggir rel kereta di seberang sana itu, pastilah sudah menjadi rusak sebasah-basahnya; dan pastilah juga ia harus menatap langit tanpa bulan di atas sana pada tidur malamnya sehabis hujan malam itu.

Dan siapakah yang berani berkata padanya, "Sudah, hujan sudah kehabisan airnya, jadi tidurlah saja dengan tenang di pinggir jalan sambil berharap-harap pada hujan, agar hujan tak lagi mendatangkan basah air hujannya." Biasanya hujan memang datang lagi tengah malamnya atau pagi-paginya. Sebelumnya atau sesudahnya, sama saja, basahlah pasti tidurnya.

"Oh, kapan aku bisa berlindung dari basahnya hujan, atau berharap pada hujan agar tak hujan?" lanjutnya. "Tenang, Bu. Tuhan pasti mendengar kesusahan ibu karena Tuhan itu baik," kata ibu setengah baya yang penuh senyum tadi dengan sabar. "Yesus telah memberikan keselamatan kekal itu pada kita dengan rela mati di atas kayu salib. Pastilah Ia sangat mengasihi kita semua. Maka, tersenyumlah pada Tuhan," lanjutnya. "Bagaimana bisa? Aku hidup dalam lusuh basah bajuku, sementara banyak orang hanya senyum untuk uang. Dan sementara aku senyum untuk baju basah lusuhku, aku juga harus senyum bukan untuk uang tapi untuk Tuhan?" sergah ibu muda itu.

Kebaktian hampir dimulai, percakapan masih jauh dari sepakat. Ibu muda itu semakin membatu sementara ibu setengah baya itu dengan sabar menjatuhkan setetes demi setetes air kerinduan akan Tuhan dalam bait-bait senyumnya. Ada kesedihan dalam getir gentar jiwanya melihat keras membatu hati di hadapan matanya, tetapi senyum itu tetap di jiwanya, mengalir dan mengalir tak habis-habis seolah-olah di sanalah tempatnya Sumber Kehidupan.

Malam makin jauh malamnya. Gerimis belum berhenti gerimisnya. Masih basah baju mereka, hujan kecil-kecil menyanyikan pujian bagi Tuhan dalam rintik-rintiknya. Tuhan para pemulung di ruang sempit dan pengap. Tuhan atas 'senyum yang belum juga datang'.

Kebaktian selesai. Percakapan dimulai lagi. Percakapan semakin jauh dari sepakat. Ibu muda itu kini benar-benar sudah membatu, meski baru saja ia menyanyi Haleluya. Ibu setengah baya itu akhirnya menghentikan kata-katanya demi kesabarannya dalam tetap senyumnya, "Andai suatu saat nanti ibu muda ini mau tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk malam, untuk hujan dan untuk uang...," pikirnya. Tetapi ibu muda itu tetap menggerutu pada basah lusuh bajunya, pada
malam hujan basah rumah kardusnya, pada Tuhan atas hujan malam itu.

Ibu setengah baya itu diam seperti malam, namun senyum masih ada di jiwanya dan mengalir di hatinya, terlihat di bibirnya dan terpancar di matanya. Namun angin malam itu telah membawa senyumnya pergi menjauh dari seorang ibu muda
yang membatu, juga dari sebagian besar orang lusuh dalam lusuh basah baju mereka di tempat itu, yang hanya mau tersenyum pada uang tak juga pada Tuhan. Tak hanya orang yang banyak uang yang tak mau senyum pada Tuhan. Hanya
sedikit yang tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk uang - senyum itu memang hanya hidup di sana, pada sedikitnya mereka yang senyum pada Tuhan.

Sebelum ia tahu bahwa kanker tengah merongrong kesehatannya, sebelum semua tahu bahwa kanker itu bertahun-tahun telah ia bawa pergi sampai ke tempat sempit dan pengap, ibu setengah baya itu dulu pernah bilang, "Bukan aku yang tersenyum padamu, tapi Tuhan memang tersenyum padaku, padamu; maka tersenyumlah juga pada Tuhan."

Dan ketika tahu bahwa kehidupan tak lagi berpihak padanya, ia tetap berkata, "Tersenyumlah selalu pada Tuhan, maka engkau akan tersenyum pada kematian."

Ibu setengah baya itu, Ibu Mien, kukenal memang dengan senyumnya. Senyum yang datang dari Sumber Kehidupan. Senyum yang telah memberi terang pada malam. Ia baru saja pergi, meninggalkan sedih yang dalam di hatiku dan basah
di mataku, tapi ia sendiri telah menyambut kematian itu dengan senyum sukacitanya. Bukan karena kematian itu diam-diam seperti diamnya malam, tapi karena sempat ia diberi waktu mengabarkan Injil, sampai hari di ujung hari-harinya, meski harus ke tempat sempit dan pengap.

"Karena Tuhan itu baik," katanya.
Masih dapat kuingat senyumnya, pada malam, pada kehidupan, pada kematian, pada Tuhan. Senyum dari Sumber Kehidupan yang dibawanya pergi, telah ditinggalkannya pula bagiku.
READ MORE - Kesaksian

Anak

Anak-anak


Jalanan berdebu. Panas menyengat kulit. Kendaraan berseliweran. Seorang gadis cilik berdiri di persimpangan jalan sambil membawa sebuah kaleng susu. Dia menadahkan tangannya kepada para penumpang kendaraan yang lewat. Kulitnya legam. Wajahnya yang manis terlapisi semacam tirai kesedihan. Di sisi lain dari jalan raya itu, tergeletak seorang wanita tua, tanpa kaki. Dengan tubuh yang tertutup sarung kusam, dia memandangi orang-orang yang sedang lalu lalang. Asap mengepul dari knalpot mobil tepat di depannya. Kendaraan terus berseliweran. Tidak peduli. Tidak memperhatikan. Tidak berhenti. Hidup berjalan terus. Insan-insan yang lemah terpinggirkan tanpa rasa iba setitikpun. Sedih? Adakah itu?

Rumah yang asri. Pepohonan rindang menyembul dari balik taman yang luas. Dalam sebuah kamar yang sejuk, berpendingin udara, seorang gadis cilik sedang duduk melamun. Dia sendirian. Dan kesepian. Di depannya tergeletak boneka-boneka yang lucu. Tetapi pandangannya kosong. Ayahnya sibuk berbisnis. Ibunya sibuk berkarir. Para pembantu berkeliaran sambil bercengkerama di ruang tamu. Dia sendirian. Dan kesepian. Dia memandangi boneka-bonekanya. Letih berbicara kepada dirinya sendiri. Letih memandangi dinding kamarnya yang bisu. Letih pada keinginannya untuk bertutur. Letih pada keinginannya untuk bercanda dengan sesamanya. Sedih? Adakah itu?

Aula itu luas. Puluhan orang sedang berkumpul. Mereka mendengarkan ceramah seseorang yang berada di mimbar. Jauh tinggi di atas podium. Seseorang yang bertutur tentang rencana-rencana besar dalam menghadapi kesesakan hidup. Dengan mulut berbusa-busa. Dengan semangat bernyala-nyala. Seorang gadis cilik tertidur di sudut aula itu. Tidak peduli pada kalimat-kalimat panjang yang sedang dihamburkan. Dia tertidur sambil, mungkin, memimpikan keluarganya sedang berkumpul bersama sambil bercerita lepas. Ayahnya yang mendongengkan kisah Putri Duyung. Ibunya yang sedang membelai rambutnya. Dan saudara-saudaranya yang terus mengusiknya. Dia tertidur. Dan tersenyum dalam tidurnya. Sedih? Adakah itu?

Pantai membentang luas. Pasir putih lembut. Lidah ombak menjilat kaki-kaki yang berjalan di atasnya. Sekelompok anak-anak berlari-lari. Saling melempar gumpalan pasir ke arah teman-temannya. Mereka berputar meliuk-liuk di tengah kerumunan orang yang sedang berdarmawisata. Seorang gadis kecil melihat semua itu. Dengan hasrat. Dengan rindu. Tetapi larangan ayahnya untuk tidak berlarian membuatnya tetap terpaku di atas tikar ini. Sedang ayahnya sedang sibuk memancing. Sambil bercengkerama dengan teman-temannya. Sambil memegang tongkat kailnya. Sedih? Adakah itu?

Kesedihan anak-anak kini semakin dilupakan dan terlupakan oleh kesedihan orang dewasa. Anak-anak hanya berarti jika dia mampu memuaskan hasrat dan keinginan orang tua. Sedang para ayah dan ibu merasakan bahwa kesusahan mereka adalah hal utama dalam hidup keluarga. Anak-anak tak pernah sedih. Anak tak perlu sedih. Anak-anak harus menerima segala hal tanpa perlu membantah. Tetapi tidakkah Yesus sendiri berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” (Mat 18:3-5)

Maka selayaknya kita mampu menyadari kesedihan anak-anak kita semua. Bahwa hidup bukan hanya demi untuk memuaskan keinginan materi mereka saja. Atau bahwa hidup mereka hanya akan baik jika mengikuti kesenangan dan keamanan kita saja. Kita pertama-tama harus bertanggung-jawab terhadap keberadaan mereka, terhadap kegembiraan hidup mereka dan mereka pun akan memberikan kita kebahagiaan atas keberadaan mereka. Bukan sebaliknya, kebahagiaan dan keberadaan mereka tergantung pada kebahagiaan dan keberadaan kita sendiri. Karena itu, persoalan yang sedang menimpa generasi muda kita tergantung pada kesediaan kita untuk merubah cara pandang kita menghadapi anak-anak kita sendiri. Tanpa itu, kita cuma mampu memarahi. Atau mengutuk. Dan kita pun tetap lelap dalam kebiasaan kita sendiri. Dengan ambisi dan hasrat kita saja. Dan anak-anak pun kian terpinggirkan. Dan disia-siakan. Dan dilupakan.
READ MORE - Anak

Keinginan Anda??????

Apa Yang Ingin Anda Capai?


Apa yang ingin anda capai dalam hidup ini? Pertanyaan ini muncul dalam forum diskusi website radio veritas edisi bahasa Cina. Sungguh amat menarik untuk melihat bahwa semua manusia tak terkecuali pasti akan berhadapan dengan pertanyaan ini. Ada orang yang secara serius merenungkan hal ini, ada juga yang pada akhirnya menjadi takut berhadapan dengan pertanyaan yang sama. Namun apapun tanggapan setiap kita, satu hal adalah pasti yakni bahwa kita tak dapat menolak untuk mengalamatkan pertanyaan ini kepada diri kita sendiri; “Apa yang ingin aku capai dalam hidupku?” Jalan hidup manusia, bila disebut singkat, yah ternyata tidak. Dan bila disebut panjang juga tidak. Ketika hidup di atas bumi ini kita harus berhadapan dengan jalan yang tak selalu lurus, jalan yang tak selalu rata. Sering kita harus menahan hati yang sakit dan terluka. Kadang kita seakan kehabisan nafas. Tapi di balik itu, ada pula kegembiraan dan kebahagiaan, ada pula penghiburan. Namun kita semua mengarah pada satu tujuan yang sama; Suatu saat kita akan memejamkan mata untuk kekal dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang sekarang. Suatu saat, entah cepat atau lambat, kita memasuki suatu kehidupan yang mungkin tak seperti kehidupan yang kini sedang kita hidupi. Oh...bagaimana harus kututup bab terakhir buku kehidupanku ini? Dan bagaimana pula dengan sejuta mimpi yang selama ini aku kejar? Apa yang ingin aku capai, apa yang ingin aku kejar selagi buku kehidupanku ini masih terbuka? Semoga aku masih belum terlambat mengangkat pena untuk mengukir halaman-halaman yang masih tersisa.

Seorang peserta diskusi dengan huruf yang lumayan besar menulis bahwa ia ingin menemukan cinta. Ia ingin mencintai dan dicintai. Karena Tuhan adalah cinta. Yang lain mengatakan bahwa yang dikejarnya dalam hidup adalah kedamaian dan kesehatan lahir bathin, karena menurutnya Tuhanlah asal dan tujuan segala kedamaian, dan bahwa harta terbesar yang bisa dimiliki manusia adalah kesehatan. Seorang lagi mengatakan bahwa ia mengejar kebahagiaan. Oh...kebahagiaan!!! Aku yakin kita semua pasti ingin bahagia. Kita menginginkan agar setiap halaman buku kehidupan kita penuh terukir jejak-jejak kebahagiaan. Namun kita pasti akan dengan segera menabrak suatu pertanyaan yang amat mendasar; Apa itu kebahagiaan? Bila kita meneliti semua sejarah hidup manusia, kita akan dengan mudah memberikan suatu kesimpulan bahwa kebahagiaan yang sempurna, kebahagiaan yang tak tercela tak pernah terukir dalam dunia yang fana ini. Semua kebahagiaan yang pernah ada di dunia ini besifat relatif. Apakah ia ditentukan oleh uang? Beckham memiliki banyak uang, tapi anda pasti tahu apakah ia sungguh bahagia atau tidak. Menjadi seorang presiden? Haha...aku yakin Bush sering kekurangan tidur di malam hari.

Bagiku, aku tak dapat membangun kebahagiaan yang sempurna di atas dasar yang fana. Dunia tempat aku berpijak ini tak bersifat kekal. Duniaku bersifat sementara. Hanya pada DIA yang kekal, yang ada sejak kekal dan hidup hingga kekal aku bisa membangun kebahagiaanku. Agustinus amat memahami hal ini ketika ia bermazmur; “Jiwaku haus akan Allah, akan Allahku yang hidup.” Dan Paulus mengatakan bahwa segala-galanya adalah sampah. Semoga aku akan mampu mengisi halaman yang masih tersisa dalam buku kehidupanku dengan jejak langkah ketika aku mencari wajah Allahku yang hidup, dan menutup bab terakhir buku kehidupanku ini dengan memandang keilahiannya, mata dengan mata. Dan...temanku, apa yang anda cari dalam hidup ini?
READ MORE - Keinginan Anda??????

KamusQ

MagMyPic


Create Fake Magazine Covers with your own picture at MagMyPic.com


He...he...he.....

pYzam Page Pets
Page Pets & MySpace Layouts